Thursday, May 24, 2007

Gelar "Haji" Pantas bagi Mereka

Menunaikan ibadah haji wajib hukumnya, bahkan menjadi salah satu rukun Islam bagi madzhab Ahlussunnah dan sebagai kewajiban furu’uddin dalam madzhab Syi’ah.
Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.

Orang yang melaksanakan ibadah haji ke tanah suci mengahdapi resiko yang tidak kecil, mulai dari kesengsaraan di perjalanan (khusus jemaah haji Indonesia kesengsaraan itu sudah terasa jauh hari sebelum keberangkatan), hingga ancaman kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat melakukan ritual haji seperti pernah dialami beberapa tahun yang lalu akibatnya semrawutnya pelayanan haji yang diselenggaran sang “Khadimul Haramain”. Bahkan –lagi-lagi khusus untuk jemaah haji Indonesia- kelaparan.

Itu sekarang ketika semua sarana dan prasarana pelaksanaan jemaah haji sudah sangat modern. Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini.

Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.

Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.

Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah---diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa---untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).

Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.

Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan –pada jaman itu- perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.

Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit jaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.

Monday, May 14, 2007

Maulid Nabi dan Shalawat untuk Sahabat Nabi (Pertanyaan untuk Salafiyyun)

Ustadz Abdurrahman dalam blog yang beliau kelola (http://abdurrahman.wordpress.com) menurunkan sebuah artikel tentang memperingati maulid Nabi SAW yang beliau nilai sebagai perbuatan bid'ah karena tidak ada contohnya baik dari Nabi maupun para sahabat beliau. Salah seorang pemgunjung blog tersebut mengkritisi artikel tersebut dengan cara membandingkan peringatan maulid Nabi dengan pembacaan shalawat kepada sahabat Nabi yang sama-sama tidak ada contohnya baik dari Nabi maupun sahabat. Anehnya, kedua perbuatan tersebut dinilai berbeda oleh kaum Salafy yang dalam hal ini diwakili oleh Ustadz Abdurrahman. Bila maulud Nabi dinilai bid'ah, tidak demikian dengan bersholawat kepada sahabat Nabi, justru bersholawat kepada sahabat nabi dinilai sebagai perbuatan yang baik.

Sayang, ustadz Abdurrahman tidak mau memperpanjang diskusi. Beliau segera menutup diskusi tersebut. Saya mencoba mengirim e-mail kepada Ustadz Abdurrahman yang -menurut pengakuannya- saat ini sedang menimba ilmu di Kuwait. E-mail yang berisi permintaan penjelasan tersebut saya alamatkan kepada alamat e-mail beliau di ibnsarijan@gmail.com dan abumuhammad78@gmail.com. Sayang, hingga saat ini beliau tidak menjawab.

Saya tulis ulang permasalahan ini dengan harapan Ustadz Abdurrahman (atau utadz-ustadz lain dari kalangan Salafiyyun) membacanya dan menjawabnya.

-------------------------

Kepada Yth.
Ustadz Abdurrahman

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Saya adalah salah seorang pengunjung http://abdurrahman.wordpress.com. Saya tertarik dengan diskusi perihal boleh tidaknya memperingati maulid Nabi. Sayang, antum menutup diskusi tersebut, padahal saya ingin sedikit berkomentar, atau tepatnya meminta konfirmasi kepada antum perihal jawaban antum atas komentar Sdr. Asep Suryana. Saya tulis ulang.

Asep Suryana Berkata:
April 10th, 2007 at 11:27 adalah
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya sedang menimba ilmu tentang Islam. Penjelasan ustadz tentang maulid nabi telah menambah wawasan saya tentang hal tersebut. Ada hal yang ingin saya tanyakan yang -menurut saya- agak mirip dengan maulid nabi, yaitu bacaan shalawat untuk para sahabat. Kita sering mendengar bacaan shalawat seperti ini : “Allahumma shali ‘ala Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashabihi aj’maiin.”
Sejauh yang saya pelajari di sekolah dulu, bacaan shalawat adalah untuk nabi dan keluarganya saja. Apakah bershalawat dengan menyertakan sahabat nabi (wa ashabihi ajma’in) pernah dicontohkan oleh Rasulullah ?
Terima kasih atas penjelasannya.

Antum menjawab:

Wa ‘alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.
Pembacaan sholawat tidak bisa kita samakan dengan peringatan maulid nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman tentang perintah bersholawat kepada Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56) سورة الأحزاب.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan untuknya” (QS. Al-Ahzab: 56).
قال البخاري:قال أبو العالية:” صلاة الله تعالى ثناؤه عليه عند الملائكة وصلاة الملائكة الدعاء”.
Berkata Bukhori:”Berkata Abu ‘Aliyah:’Sholawat Allah Ta’ala adalah penghormatan-Nya terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam disisi para malaikat-Nya, sedangkan sholawat para malaikat adalah do’a”.
قال ابن أبي حاتم: حدثنا عمرو الأودي, حدثنا وكيع عن الأعمش عن عمرو بن مرة, قال الأعمش عن عطاء بن أبي رباح:” إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا, قال: صلاة تبارك وتعالى سبوح قدس, سبقت رحمتي غضبي والمقصود من هذه الأية أن الله سبحانه وتعالى أخبر عباده بنمزله عنده ونبيه عنده في الملأ الأعلى بأنه يثنى عليه عند الملائكة المقربين, وأن الملائكة تصلي عليه ثم أمر تعالى أهل العلم السفلي بالصلاة والتسليم عليه, ليجتمع الثناء عليه من أهل العالمين, العلوي والسفلي جميعاً (انظر تفسير ابن الكثير 3/281)
Berkata Ibn Abi Hatim:’Menceritakan kepadaku ‘Amr Al-Audiy, bercerita kepadaku Waki’ dari A’masy dari ‘Amr bin Marah, berkata A’masy dari Atho’ bin Abi Robah (tentang firman-Nya):”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi…”, ia berkata:”Sholawat Allah Ta’ala adalah SUBUHUN QUDUSUN…..makna dari ayat ini adalah: Allah Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya akan kedudukan hamba dan nabi di sisi-Nya kepada para penghuni langit dikarenakan Ia memuji hamban-Nya (nabi,pent) kepada para malaikat yang terdekat. Dan para malaikat bersholawat kepadanya (nabi, pent) kemudian Allah Ta’ala memerintahkan Ahli Ilm untuk bersholawat dan mengucapkan keselamatan kepadanya, agar terkumpul pujian terhadapnya dari seluruh penghuni dunia ini baik yang tertinggi maupun yang terendah” (Lihat Tafsir Ibn Katsir 3/281. Cet: Darul Bashiroh, Mesir).
Jadi sholawat kita kepada nabi dan para sahabatnya adalah sebagai pujian (tsana’) kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman ketika memuji para sahabat radhiallahu anhum:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (218) سورة البقرة.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqoroh: 218).
قال قتادة: أثنى الله عز و جل على أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم أحسن الثناء في هذه الأية. (أنظر كتاب فضائل الصحابة. لعبد الله عبد القادر).
Berkata Qotadah:”Allah Azza wa Jalla memuji para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya pujian pada ayat ini”. (Lihat Kitab Fadhoil As-Shohabah. Karya Abdullah Abdul Qodir).Allahu A’lam.
Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji para sahabatnya, hal ini sebagaimana dalam hadits berikut:
Dari ‘Imron bin Hushain radhiallah anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“خير أمتي قرني, ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم”
“Sebaik-baiknya umat adalah pada masaku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya”. Berkata ‘Imron: Saya tidak tahu apa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan generasi setelahnya sebanyak dua atau tiga kali.1) Allahu Ta’ala A’lam.

Kuwait, 26 Robi’ul Awwal 1428 – 12 April 2007

Catatan Kaki:
1) HR. Ahmad 4/426/440; Bukhori 8/5/6/7 dalam Al-Manaqib; Muslim dalam Al-Fadhoil 16/87/88/89; At-Tirmidzi; An-Nasa’I; Abu Dawud dan selain mereka. Dalam riwayat lain:
“خير هذه الأمة القرن الذي بعث فيهم”
“Sebaik-baiknya generasi pada umat ini adalah generasiku yang mana aku diutus padanya”. (HR. Ahmad 1/378/417). Sedangkan hadits yang berasal dari Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu berbunyi:
“خير الناس قرني…..”
“Sebaik-baiknya manusia adalah pada generasi…..” (HR. Bukhori; At-Tirmidzi)
Sedangkan dalam lafaz Muslim berbunyi:
“Seseorang bertanya: Siapakah manusia terbaik? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Manusia terbaik adalah pada generasiku”. (HR. Muslim).


Dari penjelasan antum di atas tidak disebutkan satu dalil pun bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa alihi wasalam pernah menganjurkan untuk bershalawat kepada para sahabatnya. Adapun hadis-hadis tentang keutamaan para sahabat kita sudah tahu, tapi hadis-hadis itu tidak menjadi dalil bolehnya bershalawat kepada sahabat, karena tata cara (bacaan) shalawat sudah tertentu dan sudah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa alihi wasalam.
Dalam hal ini saya berpegang pada kaidah Lau Kaana Khairan Lasabakuuna Ilaihi (kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para sahabat telah mendahului kita mengamalkannya), sedangkan kita mafhum bahwa para sahabat tidak pernah melakukannya, yaitu mereka tidak pernah bershalawat untuk sesama mereka sendiri.

Saya minta penjelasan lebih lanjut mengenai masalah ini. Karena antum saat ini sedang menimba ilmu di Kuwait, kalau antum tidak berkeberatan, mungkin antum dapat pula minta pendapat masyayikh di sana.

Jazaakallahu khoiron katsiro.