Friday, August 31, 2007

Tragedi Karbala dan Tradisi ”Bubur Beureum”

PARA lelaki itu terus memukuli tubuh dan wajahnya dengan pisau, rantai, dan benda keras lainnya. Darah segar mengucur membahasi ikat kepala dan pakaian mereka. Tangisan tidak terbendung. Tapi bukan lantaran rasa sakit tak terkirakan. Melainkan air mata kesedihan yang mendalam karena kehilangan dan penyesalan.

Atraksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan hari terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, Irak. Pawai yang berdarah-darah itu biasanya berlangsung di India, Pakistan, Iran atau Irak pada setiap tanggal 10 Muharam atau lebih dikenal dengan nama Hari Asyura.

Meskipun pemerintah setempat secara resmi melarang praktik penyiksaan diri seperti itu, pada kenyataannya sulit dihilangkan. Refleksi kecintaan pada Imam Husein dengan cara tersebut terus saja berlangsung, dan kita bisa melihatnya setiap tahun di layar kaca.

Memang ada dua peristiwa besar pada bulan Muharam ini yang sering diperingati kaum Muslimin. Pertama, peringatan tahun baru Hijriah yang jatuh pada tanggal 1 Muharam dan kedua, peringatan tragedi terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw., dipadang Karbala pada tanggal 10 Muharam.

Dari keduanya, peringatan tragedi Karbala memiliki dimensi tersendiri meskipun lebih sedikit kaum Muslimin yang memperingatinya. Begitu membekasnya peristiwa itu, sehingga menumbuhkan sebuah tradisi di tengah masyarakat sebagai bentuk penghormatan atas syahidnya Imam Husein.

Peristiwa di Karbala adalah fragmen yang mengabarkan pada kita salah satu sisi hitam dalam sejarah Islam. Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, penerus ajaran Nabi dan lambang kesucian, berhadapan dengan Yazid bin Muawiyah, penguasa tiran dan lambang kezaliman. Sudah digariskan hukum alam, kesucian dan kezaliman tidak bisa berjalan bergandengan.

Sebuah perang yang tidak seimbang terjadi. Imam Husein dengan sekira 70 pengikutnya berhadapan dengan sekira 30.000 tentara Yazid yang dikomandani Ubadilillah bin Ziyad. Dalam rasa haus yang sangat, karena Yazid menutup akses rombongan Husein ke Sungai Eufrat, anggota kafilah kecil ini satu per satu gugur dengan mengenaskan. Termasuk anak-anak kecil dan para wanita yang tidak berdaya.

Puncaknya, Imam Husein syahid dan kepalanya dipenggal lalu diarak ke istana Yazid bin Muawiyah. Banyak penduduk Irak meratapinya, karena mereka tahu persis siapa lelaki yang disebut Rasulullah sebagai pemuka para penghuni surga itu. Peristiwa terbunuhnya Imam Husein terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah. Tanggal tersebut dikenal dengan nama Hari Asyura. Lidah Jawa melafalkannya menjadi Suro.

Kaum Muslimin penganut mazhab Syi'ah di beberapa negara, menyelenggarakan peringatan Asyura secara besar-besaran. Menjadi ritual wajib tahunan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka mengadakan semacam teater massal di tempat terbuka. Lalu kisah penderitaan Husein dibacakan, semua orang menangis. Kemudian mereka berarak, sambil meneriakkan kalimat, "Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala."
Dalam kondisi seburuk apa pun, peringatan Asyura tetap diupayakan untuk dilakukan. Misalnya, warga Irak yang sudah beberapa tahun belakangan ini berada di bawah penjajahan Amerika Serikat, tidak pernah meninggalkan tradisi ini. Mereka berkumpul di Karbala, berziarah ke makam Imam Husein lalu dilanjutkan dengan pawai menelurusi jalan-jalan utama.

*****

DI Indonesia, peringatan Asyura memang tidak seheboh di Irak atau Iran. Tapi bukan tidak ada sama sekali. Sejak dulu peringatan ini dilangsungkan, dan pada umumnya dengan suasana yang sederhana. Namun tidak dalam kesadaran sebagai seorang penganut Syi'ah, melainkan semata-mata kecintaan mereka pada Imam Husein. Dan tentu saja karena warisan tradisi.

Kebanyakan dari mereka tidak tahu persis seperti apa tragedi itu terjadi dan apa motif di belakangnya. Hanya kesadaran tradisilah yang memandu mereka untuk tetap menyelenggarakan peringatan Asyura. Pada tahun 70-an, di beberapa tempat di Jawa Barat kegiatan ini masih berlangsung setiap tahun. Terutama di kampung-kampung.
Di sebuah kampung di Tasikmalaya, pada pagi hari setiap tanggal 10 Muharam hampir setiap rumah memasak bubur merah dan putih yang disimpan terpisah. Bubur itu kemudian dikenal dengan bubur suro. Selanjutnya makanan itu dibawa ke masjid bersama dengan hahampangan (makanan ringan). Di masjid telah berkumpul warga yang duduk bersila membentuk lingkaran. Orang yang dituakan atau imam masjid memimpin acara tersebut.

Seorang wanita separuh baya membacakan salawat dilanjutkan dengan pembacaan pujian pada Rasulullah dari Kitab al-Barzanji. Dalam dialek Sunda bunyinya berubah menjadi "berjanji". Kitab ini dikarang oleh Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di Madinah tahun 1690 M.

Seusai "Barzanji" dibacakan, kemudian dilantunkan kisah hidup Imam Husein, perjuangannya menegakkan kadilan melawan kezaliman, berperang melawan penguasa Yazid Muawiyah, hingga syahidnya di Karbala. Tidak ada tangisan, tidak ada keharuan. Acara berlangsung datar-datar saja. Setelah pembacaan kisah selesai, jemaah pun menyantap hidangan. Anak-anak berebut mengambil mangkuk untuk bubur suro.

Sedangkan di sebuah kampung di Limbangan, Garut, warga berkumpul di masjid sore hari menjelang magrib. Di tempat itu makanan ringan dan bubur suro sudah tersedia. Setelah wejangan disampaikan dan pembacaan "Barzanji" serta kisah Imam Husein dilantunkan, warga salat magrib berjemaah. Setelah itu warga pun menyantap hidangan.
"Di tengah lingkaran warga, tersimpan pula air putih dalam beberapa kendi. Setelah acara selesai, warga mengambilnya dengan cangkir masing-masing ke rumah mereka. Ada kepercayaan, air itu membawa berkah," kata Rohendi (34), yang sempat bermukim di Limbangan pada tahun 80-an saat duduk di bangku SD.

Sejumlah orang tua terkadang menjadikan Hari Asyura untuk menguatkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi dibawa ke masjid, kemudian memperkenalkan namanya kepada hadirin. Dengan kata lain namanya dipatenkan. Karena itu, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan, "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).

Dalam tradisi Jawa, biasanya peringatan Asyura dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis. Pada hari itu sering dilakukan pencucian benda-benda yang dianggap keramat, selain dilakukan pada 1 Muharam. Terdapat pula ritual khusus untuk menyambutnya.

Di beberapa tempat di luar Pulau Jawa, perayaan Hari Asyura jauh lebih meriah dan menjadi agenda pariwisata tahunan yang menyedot banyak pengunjung. Misalnya di Bengkulu ada upacara tradisional "Tabot" atau "Tabut". Di wilayah ini perayaan Asyura sudah diperingati lebih dari dua abad yang lalu. Tabut berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "kotak kayu".

Menurut berbagai keterangan, tradisi Tabut dibawa ke Bengkulu oleh orang-orang Madras, India. Mereka adalah para pekerja yang membangun benteng Marlborought di Bengkulu, dan mengamalkan mazhab Syi'ah. Tradisi Tabut menggambarkan para pengikut Imam Husein bekerja keras mengumpulkan bagian-bagian jenazah pemimpin mereka, dan memakamkannya di Karbala.

****

PADA awal tahun 1990-an, mulai banyak digelar peringatan Hari Asyura secara "lebih ideologis" di Indonesia. Artinya, penyelenggaraan tersebut dilakukan oleh komunitas para pencinta ahli bait (keluarga) Nabi Muhammad saw. yang suci. Mereka secara sadar memang mengamalkan mazhab Syi'ah (atau kesyi'ah-syi'ahan) dan meyakini konsep imamahnya. Imam Husein sendiri adalah imam ke-3 dalam mazhab tersebut.
Ketika reformasi bergulir, perayaan dilakukan lebih terbuka lagi. Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Hari Asyura digelar di tempat-tempat pertemuan yang besar atau di hotel berbintang. Para pesertanya juga datang dari berbagai tempat, dengan mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung. Di berbagai tempat strategis terbentang kain spanduk besar bertuliskan "Setiap Hari Adalah Asyura, Setiap Tempat Adalah Karbala".

Dalam kesempatan itulah dibacakan kisah hidup dan tragedi yang menimpa Husein. Begitu kisah dibacakan, hadirin pun hening. Begitu sampai pada penggalan kisah yang paling memilukan, hadirin terisak dan akhirnya larut dalam tangisan. Semakin memilukan kisah itu, akan semakin keras tangisan mereka.

Setelah itu, biasanya dilantunkan syair-syair berisi ratapan untuk Husein yang lazim disebut martsiyah atau elegi. Peristiwa Karbala telah memberi ilham bagi sekian banyak orang di berbagai belahan dunia untuk menggubah syair. Tidak terhitung kiranya jumlah buku yang ditulis orang untuk mengabadikan tragedi tersebut.

Terlepas dari persoalan mazhab yang melatarbelakanginya, peringatan Hari Asyura telah memperkaya tradisi di tengah masyarakat Indonesia. Tanpa harus menyimpan kecurigaan apa pun terhadap penyelenggaraan kegiatan tersebut. (Enton Supriyatna Sind)***
http://www.pikiran-rakyat.com