Thursday, December 18, 2008

Sya'ir di Makam Sultan Malik al-Saleh

Seorang teman saya tidak pernah bermimpi mau ke Aceh sejak lahirnya.
Namun setelah peristiwa Tsunami Aceh, dia ingin sekali ke sana melihat bekas-bekas dahsyatnya peristiwa tsunami. Akan tetapi dia selalu diliputi ketakutan terjadi tsunami lagi. Akhirnya awal tahun ini, dia nekad pergi ke sana bersama seorang sepupunya. Tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain bekas-bekas bencana tsunami di pesisir utara Aceh, juga tak ia lewatkan makam Sultan Malik al-Saleh, Sultan Kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudra Pasai, yang terkenal itu.

Sesampainya di Makam Sultan Malik Al-Saleh, ia dapati di nisan makam tertulis sya'ir Imam Ali bin Abi Thalib a s dalam bahasa Arab yang artinya begini:

Dunia ini fana, tiada kekal, bagaikan sarang laba-laba;

O, kau yang menuntut terlalu banyak,

Memadailah yang kau peroleh selama ini.

Ada yang umurnya pendek,

Namun namanya dikenang selamanya;

Ada yang berusia panjang,

Namun dilupa orang sesudah matinya.

Dunia ini bayang-bayang yang cepat berlalu

Seorang tamu dimalam hari,

Mimpi orang yang tidurnya nyenyak

Dan sekilat cahaya yang bersinar di cakrawala harapan.

Guru, digugu hanya ketika diperlukan

Syarifah Aliah, teman lamaku yang hampir 20 tahun tidak pernah berjumpa. Dia adalah cucu Habib Usman Alaydarus (alm), ulama sekaligus pendiri Yayasan Assalam Bandung. Tulisannya tentang "guru" begitu menggugah, seolah mewakili jeritan hati para guru yang nasibnya tidak sebaik jasanya, juga menyadarkan orang-orang -seperti aku- yang selama ini tidak mampu (atau tidak mau) membalas kebaikan para guru.

Syarifah, aku minta ijin tulisanmu kupampang diblog sederhana ini.

Guru, "Digugu" hanya Ketika Diperlukan
PIKIRAN RAKYAT, Kamis 18 Desember 2008

Oleh SYARIFAH ALIAH

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Engkau patriot pahlawan bangsa.
Tanpa tanda jasa…
(Himne Guru karya Sartono)

KETIKA dua bom atom dijatuhkan di dua kota besar di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantaklah kedua kota yang dibanggakan negeri matahari itu. Kedua benda mematikan itu sengaja dikirim pasukan tentara Amerika dibawa pesawat berjenis B-29 yang berangkat dari pangkalan militer bernama Pearl Harbor di pulau O`ahu - Hawaii, sebuah balasan atas serangan Jepang terhadap pangkalan angkatan laut AS itu pada 8 Desember 1941.(http://id.wikipedia.org/wiki/Pearl_Harbor)

Sekian puluh detik berikutnya, ribuan mayat yang bergelimpangan, bau amis darah dan daging hangus menyengat hidung, begitu pun semua bangunan rata dengan tanah disertai abu tak henti beterbangan. Api berkobar di mana-mana, membakar segala apa yang terimbas dari bom atom yang berkekuatan mahadahsyat itu.

Seketika itu sang kaisar, Hirohito, tertegun sejenak meratapi nasib kedua kota yang sangat diandalkannya. Namun, dia cepat beranjak dari lamunan dan segera memerintahkan kepada perdana menterinya untuk segera menghitung, Berapa orang guru yang tersisa dan masih hidup! (www.kebangkitan-indonesia.blogspot.com)

Sang kaisar ternyata berpandangan lain dan jauh ke depan. Dalam pikiran sang kaisar, sosok guru lebih berharga dibandingkan dengan aset negara yang lain sekalipun. Guru menjadi tulang punggung keberhasilan sebuah bangsa. Hirohito memang cermat dalam memahami hal tentang pentingnya guru. Lihatlah Jepang sekarang.

Reposisi atau penataan kembali peran guru di Indonesia dalam dunia pendidikan perlu dilakukan. Ini terutama mengingat guru yang sebetulnya sangat berperan penting dan ikut menentukan kualitas pendidikan, namun pada kenyataannya selalu berada di pinggiran atau termarginalkan.

Hal itu terungkap dalam diskusi panel bertajuk "Reposisi Guru Dalam Tatanan Pendidikan Nasional Sebagai Infrastruktur Pengembangan Sumber Daya Manusia" di Gedung Guru, Jakarta, Kamis (Kompas, 29 Maret 2007).

Pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengatakan, kondisi guru yang
termarginalkan sekarang ini merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan nasional yang memang merendahkan guru. Contoh kasus ujian akhir secara nasional yang amat menentukan kelulusan murid. Ini jelas-jelas tidak memercayai guru sebagai pihak yang mengevaluasi.

Contoh lainnya, ketika pemerintah mau meningkatkan kualitas pendidikan, yang dilakukan ialah perubahan kurikulum. Kurikulum itu kemudian dijadikan buku pintar untuk guru. Para guru diberi pelatihan agar dapat mengikuti kurikulum. Namun, hasilnya justru guru tidak menjadi lebih pintar dari kurikulum, by design guru malah menjadi bodoh.

Mungkin sudah menjadi suratan takdir jika sosok guru sering diidentikkan dengan kemiskinan dan sebuah profesi pilihan terakhir. Pengebirian nasibnya malah tergambarkan dalam sebuah syair lagu fenomenal yang dilantunkan Iwan Fals yang berjudul "Umar Bakrie".

Di saat sang murid sudah berwara-wiri memakai mobil 2 pintu, guru masih cukup berkutat dengan kendaraan 2 roda saja. Ketika sang murid sudah memiliki alat hiburan Playstation 3, gurunya baru dapat berekreasi mengajak anaknya bermain (play) ke stasiun (station) kereta api saja.

Namun saat guru menyalak sedikit, sang murid yang merasa tidak nyaman buru-buru mengadu kepada sang ibu (orang tuanya) yang diteruskan dengan pengaduan kepada kepala sekolah atau aparat hukum. Saat guru lelah rohani, guru diburu karena akhlaknya tidak lagi layak ditiru. Guru selalu menjadi sorotan walaupun masyarakat tidak tahu apa yang dia pikirkan.

Sepertinya guru hanya "digugu" saat muridnya butuh nilai saja. Perintah guru akan ditaati kala beliau menjadi pengajarnya saja. Lihatlah guru saat tidak berwenang memberi nilai terhadap muridnya, dipastikan murid tak menghiraukannya.

Selamat Hari Guru!

Penulis, guru TK Assalaam Bandung.