Sunday, April 22, 2007

“ALANGKAH INDAH ARGUMENTASINYA!”

Ada sebuah kearifan filosofis yang berbunyi, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Lewat kearifan ini hendak digambarkan betapa strategis posisi orang tua dalam pembentukan kepribadian anak, di mana pola pikir, pola tutur, dan pola laku orang tua akan ditiru anak. Berbagai pola meniru ini merupakan akibat langsung yang diterima anak karena keluarga memang merupakan wahana sosialisasi pertama dan utama bagi setiap individu. Dari sebab itu, mutu didikan, mutu asuhan dan mutu sentuhan-sentuhan psikologis lainnya akan memberikan lahan yang subur bagi anak sehingga ia pun merasa nyaman dan memungkinkan dirinya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi kemanusiaan secara optimal.

Sejumlah penelitian psikologi membuktikan, anak yang dibesarkan dalam keluarga bahagia, dalam arti yang luas, akan memiliki tingkat intellegensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang kurang mampu memberikan rasa bahagia bagi anak. Imam Ali kwh adalah contoh dari sedikit orang yang telah diasuh dalam suasana keluarga kenabian yang penuh dengan kenyamanan dan kebahagiaan spiritual ini sehingga semua potensi kemanusiaan yang beliau miliki mampu terejawantahkan secara utuh.

Bila sejenak kita buka kembali sekelumit lembaran sejarah, bisa diketahui beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang dilingkupi oleh kampiun-kampiun spiritual. Ayahandanya, Abu Thalib, sebagai misal. Beliau adalah sosok masyarakat qurays yang cukup terpandang dan disegani. Beliau jugalah yang telah berkesempatan mengasuh Nabi Muhammad saw sepeninggal kakek Nabi saw, Abdul Muthalib. Jadi mulai dari sini sudah bisa kita lacak, sejak usia anak, Imam Ali kwh sudah tinggal serumah dengan Beliau saw yang pada saat itu berposisi seperti seorang kakak terhadap adiknya. Tentang keberanian Abu Thalib, tidak perlu kita ulangi panjang lebar. Beliaulah yang berani pasang badan saat Nabi saw mulai menyampaikan dakwah Islam secara terbuka demi menghalau cecunguk-cecunguk jahiliyah yang merintangi dakwah Beliau saw.
Bagi sebagian umat Islam yang sudah mencapai level “makrifat sejarah”, pembelaan yang dilakukan Abu Thalib di atas, merupakan bukti keyakinan beliau pada kebenaran Islam, sekaligus bukti keislaman beliau. Tapi bagi sebagian lain, yang belum menyentuh level “makrifat sejarah” serta masih bersuara sumbang, pembelaan Abu Thalib terhadap Islam, merupakan bukti, yang satu saat nanti, Insya Allah, akan mereka mengerti.

Tak berselang lama kemudian, setelah Rasulullah saw membangun mahligai rumah tangga sendiri bersama Siti Khodijah al-Kubra, disebabkan kesulitan ekonomi yang dialami Abu Thalib, Imam Ali kwh diambil dan diasuh langsung oleh Beliau saw. Dan mulai saat itulah, Imam Ali kwh diasuh oleh seorang, yang diabadikan di dalam Al-Quran suci sebagai orang yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan wahyu semata-mata.

Sekarang bisa Anda fikirkan dan Anda rasakan, kira-kira bagaimana keadaan seseorang yang diasuh oleh dua orang ahli surga, Rasulullah saw dan Khodijah. Tak satupun orang waktu itu yang memperoleh posisi seperti Beliau kwh. Imam Ali kwh saat itu berada dalam ruang keluarga kenabian yang steril dari hal-hal yang bisa mencemari atau menutupi kesucian fitrahnya. Beliau kwh tumbuh kembang di bawah naungan pandangan dunia atau paradigma tauhid. Dari sebab itu, Imam Ali kwh, berhak menyandang gelar Karramallahu Wajhah. Artinya, semoga Allah swt memuliakan wajahnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dikarenakan sejak lahir hingga wafat wajah (hatinya) tidak pernah tunduk terhadap berhala meski sesaatpun. Perut Beliau kwh juga tidak pernah terselinap barang haram, pendengarannya pun tidak pernah menerima perkataan sia-sia dalam ruang steril tersebut.

Marilah kita simak kesaksian Imam Ali kwh sendiri yang pernah berkisah tentang kehidupan yang dijalaninya bersama Rasulullah saw. “Dan telah kalian ketahui tempatku di sisi Rasulullah saw, dengan kekerabatanku yang amat dekat dan kedudukanku yang khusus. Beliau saw meletakkan aku dipangkuannya ketika aku masih seorang bocah. Didekapnya aku ke dadanya, dipeluknya dipembaringannya, disentuhkannya aku dengan tubuhnya, diciumkannya aku dengan harum aromanya. Beliau kwh kemudian meneruskan,”Aku pun mengikutinya kemana Beliau saw pergi, bagai anak onta mengikuti ibunya. Tiap hari Beliau saw mengajariku tambahan pengetahuan dari akhlaknya, dan memerintahkan agar aku mencontohnya. Dihari-hari tertentu, setiap tahunnya, Beliau saw menyingkir menyendiri di Gua Hira, dan aku melihatnya sementara tak seorangpun melihatnya selain aku. Pada saat itu, tak ada satupun rumah tangga yang terikat dalam Islam selain Rasulullah saw dan Khadijah serta aku yang ke tiga setelah keduanya. Dan akupun menyaksikan sinar wahyu dan kerasulan, menghirup pula semerbaknya kenabian (Nahjul Balaghah: terbt. Mizan).

Demikianlah Imam Ali kwh tumbuh kembang dalam suasana keluarga Islam yang ideal. Pola didik, pola tutur dan pola laku yang ditampilkan oleh Sang Penerima Wahyu saw telah diserap seutuhnya oleh generasi penerus Beliau saw ini. Setiap goresan kehangatan yang diukir ke dada Imam Ali kwh lewat akhlak suci Beliau saw ini akan terlihat dampaknya dikemudian hari. Beliau kwh, muncul menjadi figur dengan struktur spiritual mirip, kalau ada yang keberatan bila dikatakan serupa, dengan Sang Utusan saw! Dengan posisi spiritual seperti ini, Beliau saw pun bersabda,”Wahai Ali, kedudukanmu di sisiku sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada nabi sesudahku”. Dalam kesempatan lain Beliau saw menuturkan pula ,”Aku adalah kota ilmu, dan Ali pintunya. Maka barangsiapa ingin mendapat ilmu, hendaknya ia melewati pintunya”.

Lewat hadist yang pertama, dengan logika sederhana saja, bisalah disimpulkan bahwa bangunan spiritual antara Rasulullah saw dan Imam Ali kwh tersebut berada dalam satu ayunan langkah kaki. Orang melayu bertutur arif, bak pinang dibelah dua. Maka tak mengherankan bila Beliau kwh sering dipilih Rasulullah saw untuk mewakilinya dalam berbagai misi, termasuk pula ditunjuk menjadi panglima perang diberbagai peperangan. Sedangkan lewat hadist yang kedua, masih dengan logika yang sederhana tentunya, yang dimaksud dengan kota ilmu adalah Al-Quran suci itu sendiri sehingga untuk bisa memahami dan memaknai Al-Quran suci pasca kenabian, normalnya harus lewat Sang Pintu Ilmu, dan tidak(normal?)lewat pintu-pintu yang lain.

Kesaksian Ibn Abil Hadid berikut ini menarik pula untuk disimak. Ia menuturkan, berkali-kali Umar bin Khatab ra. berkata kepada Ali bin Abi Thalib kwh. “Aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan ‘tidak tahu’ dan menjawabnya langsung, bahkan tanpa berfikir sejenakpun”. Lalu Imam Ali kwh menunjukkan lima jarinya ke hadapan Umar bin Khatab ra. seraya berkata,”Wahai Umar, berapakah ini?”. Seketika itu juga Umar bin Khatab menjawab,”Lima!”. Imam Ali kwh lantas menimpali, ”Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi”.

Lewat kesaksian di atas terbuktikan, ketangkasan intellektual yang dimiliki Imam Ali kwh, telah menyebabkan Beliau kwh mampu menangkap persoalan dengan cermat kemudian menyajikan penyelesaiannya secara akurat, dan logikanya pun terlihat selalu terjaga.
Kepiawaian Imam Ali kwh dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya tidak berhenti sampai di situ. Untuk lebih mengenali kehandalan Beliau kwh dalam menjawab dan menyelesaikan persoalan , kita tengok sebentar penggalan episode kehidupannya setelah Rasulullah wafat, yang telah direkam oleh sejarah.

Dikisahkan, ada serombongan utusan dari negeri Romawi ke Madinah. Diantara mereka terdapat seorang pastor Nasrani. Pastor itu datang ke masjid Rasulullah saw sambil membawa kantung yang berisi emas dan perak lalu berkata,”Aku dari negeri Romawi. Aku datang membawa kantung berisi emas dan perak. Aku ingin bertanya kepada penjaga umat ini tentang beberapa masalah. Jika dia dapat menjawab maka aku akan masuk Islam dan mentaati perintahnya. Dan ini hartaku dihadapan kalian aku berikan. Tetapi jika dia tidak bisa menjawabnya maka aku akan kembali dan tidak akan masuk Islam”. Kemudian pastor itu mulai melontarkan pertanyaan pada salah seorang sahabat Nabi saw. “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak Allah miliki, sesuatu yang tidak ada pada Allah, dan sesuatu yang tidak Allah ketahui?”, demikianlah pertanyaan sang Pastor.

Singkat cerita, tidak ada satu sahabatpun yang hadir di situ mampu menjawabnya. Bahkan ada riwayat yang mengatakan, ada seorang sahabat yang marah dan mau membunuh pastor tersebut, sesaat setelah mendengar pertanyaannya. Melihat gelagat yang kurang menguntungkan ini, Salman Al-Farisi ra. yang juga hadir di sana, bangun dan pergi menjumpai Imam Ali kwh yang tengah duduk bersama al-Hasan dan al-Husein di tengah rumah. Salman menceritakan kejadian yang baru saja terjadi kepada Imam Ali kwh. Lalu, Imam Ali bangun dan pergi bersama al-Hasan dan al-Husein sehingga sampai di masjid. Lalu Imam Ali kwh masuk dan duduk.

Kemudian pastor itu menghadap Imam Ali kwh dan memulai berdialog. ”Wahai lelaki, siapa namamu?”. Imam Ali kwh menjawab,”Namaku dikalangan Yahudi adalah Ilyan dan dikalangan Nasrani adalah Iliya. Sedangkan menurut ayahku adalah Ali dan menurut ibuku adalah Haidar”. Pastor bertanya lagi,”Apa hubunganmu dengan Nabimu?”. Beliau kwh menjawab,” Dia adalah saudaraku, mertuaku dan putra pamanku”.
Pastor kemudian berkata,”Kamu adalah temanku demi Tuhannya Isa. Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak Allah miliki, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak Allah ketahui?”

Dengan rendah hati dan penuh wibawa Sang Pintu Ilmu segera menjawab, ”Wahai saudara Nasrani, adapun pertanyaanmu tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah adalah istri dan anak. Tentang sesuatu yang tidak ada pada Allah adalah kedhaliman. Adapun tentang sesuatu yang tidak Allah ketahui adalah sekutu dan kawan. Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.

Mendengar jawaban tersebut, orang Nasrani saat itu juga berkata,”Ulurkan tanganmu, aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah”. Lalu, pastor itu bangun dan menyerahkan seluruh hartanya kepada Imam Ali kwh, kemudian kembali ke kaumnya dalam keadaan Muslim. Para sahabat bersorak senang, Abu Bakar ra. berkata,”Wahai penyingkap kesedihan, wahai Ali engkau adalah pelega kegelisahan”.
Dalam kesempatan yang berbeda datang lagi seorang menemui Imam Ali kwh, dan menyatakan akan masuk Islam bila bisa menjawab pertanyaan yang disampaikan. Orang tersebut bertanya,”Sebutkan lima makhluk hidup yang tidak berbapak dan tidak beribu. Sebutkan tempat di dunia ini yang disucikan oleh Islam tapi justru tidak boleh dipakai sebagai tempat sholat. Terakhir, sebutkan tempat di dunia ini yang pernah sekali saja tertimpa sinar matahari secara langsung, sesudah itu tak pernah lagi”.
Imam Ali kwh menjawab,”Lima makhluk hidup yang tidak berbapak dan tidak beribu ialah Adam, hawa, ular dari tongkat Nabi Musa, domba Nabi Ibrahim pemberian Allah sebagai ganti Nabi Ismail, dan ontanya Nabi Shaleh yang muncul dari bukit. Sedangkan tempat yang dianggap suci oleh Islam tapi tidak boleh dipakai sebagai tempat sholat adalah bagian atas (atap) Ka’bah. Adapun tempat yang hanya sekali tertimpa matahari secara langsung adalah laut merah yang dibelah Nabi Musa. Saat dibelah, dasar laut tersebut tertimpa sinar matahari, tak lama kemudian tertutup lagi”.

Bahkan ada pertanyaan agak aneh yang disampaikan ke Imam Ali kwh. “Wahai Ali, sebutkan suatu bilangan yang bila dibagi angka satu sampai sepuluh tidak menghasilkan angka pecahan?”. Beliau kwh segera menjawab,”Jumlah hari dalam satu bulan (30) dikalikan jumlah hari dalam satu minggu (7), lalu kalikan jumlah bulan dalam satu tahun (12). Kami persilakan Anda buktikan sendiri hasilnya, Pembaca Budiman.

Bila dicermati jawaban-jawaban Beliau kwh di atas, tak ada satu pun yang lemah logikanya. Ditangan Imam Ali kwh, aneka pertanyaan yang rumit dan terdengar asing di telinga, terasa ringan dan pada akhirnya akan terurai. Para penanya di atas, setelah puas dengan jawaban yang diterima, segera masuk Islam. Mereka menerima Islam dan mengakui kewilayahan Imam Ali kwh setelah melakukan Fit and proper test dan kalah dalam duel logika melawan menantu Nabi saw ini. Sikap mental mereka pantas kita tiru yaitu, egonya tunduk terhadap kebenaran setelah akalnya membuktikan sendiri adanya kebenaran. Mereka masuk Islam karena argumentasi, bukan persuasi. Mereka menerima Islam karena melakukan gerak ikhtiari, bukan mewarisi. Lalu, bagaimana dengan kita sendiri, Pembaca Budiman?

Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan yang sempat direkam sejarah, tapi tidak mungkin kita muat semuanya di sini. Kami persilakan Pembaca Budiman berikhtiar menemukannya sendiri. Namun, sekarang ada baiknya juga kalau kita intip sejenak jawaban Imam Ali kwh atas berbagai pertanyaan yang menunjukkan kesucian akhlak Beliau kwh.

Suatu hari ada seseorang memaki dan menghina Imam Ali kwh. Anehnya, keesokan harinya, karena ada keperluan penting, orang tersebut tanpa rasa malu menemui Imam Ali kwh. Dan dengan lapang dada Beliau kwh bersedia membantu dan menyelesaikan kesusahan orang tersebut. Para sahabat Imam Ali kwh dengan heran bertanya,”Mengapa Anda membantunya?”. Imam Ali kwh menjawab, “Aku malu bila kebodohannya dapat mengalahkan kesabaranku, dan kesalahannya mengatasi maafku, serta permintaannya mengungguli kedermawananku. Oleh karena itulah aku kabulkan permintaannya”.
Seorang penjual daging menawarkan dagingnya kepada Imam Ali kwh,”Wahai Ali, belilah daging dariku, kualitasnya sangat baik!”. Imam Ali kwh menjawab,”Aku tidak punya uang”. Penjual daging itu nyelutuk lagi,”Engkau bisa membayarnya nanti, aku tidak tergesa-gesa dengan uangnya”. Imam Ali lantas menyahut,”akupun tidak tergesa-gesa untuk makan daging”.

Dikisahkan juga, suatu saat Imam Ali didatangi seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut membaca syair yang isinya puja dan puji untuk Imam Ali kwh, tetapi ia berlebihan dalam memuji. Bahkan dalam hatinya, ia mencela Imam Ali kwh. Mengetahui kebusukan hati orang itu, Beliau kwh berkata,”Aku lebih kecil dari apa yang engkau puji dengan lisanmu, dan lebih baik dari apa yang kau pikirkan”.

“Alangkah indah argumentasinya!”. Demikian kira-kira suara yang terdengar dari lubuk hati kita sesaat setelah mendengar jawaban Imam Ali kwh di atas. Bila dirasa-rasakan bahasa jawabannya sungguh berbeda dengan peristiwa bahasa sehari-hari. Ada sesuatu yang lain di sana. Kita seolah diterpa oleh suatu kekuatan dibalik setiap jawaban yang diberikan. Sengketa antara sisi spiritual dan sisi intellektual yang sering terjadi pada kebanyakan kita, tak terlihat di sana. Bahkan keduanya terlihat harmonis. Selanjutnya, bila ditimang-timang lebih dalam lagi, Beliau kwh, juga tidak pernah tidak dapat menemukan kata-kata untuk menampakkan cahaya kebenaran yang sebelumnya seakan tak terjangkau oleh bahasa kita. Akibatnya bisa diperoleh, bukan sekedar kelezatan kognitif saja tentunya, tapi sekaligus pencerahan rohani bagi para pemerhati sekalian.

Sungguh fasih lidah Beliau kwh. Imam Ali kwh tidak pernah mengalami slip of the tongue alias keseleo lidah, bahkan sepatah kata saja, dari apa yang diucapkannya. Emosinya pun tidak pernah teraduk-aduk. Kesadarannya selalu dalam kendali nalarnya. Pandangan-pandangannya terhadap soal-soal ketuhanan dan kemanusiaan senantiasa berkelit-kelindan membangun sebuah pandangan dunia tauhid yang menyeluruh dan harmonis. Lebih dari itu, Beliau kwh tidak hanya membatasi diri pada pewacanaan-pewacanaan saja, tetapi selalu berupaya menawarkan alternatif praktis, berikut berbagai implementasi yang realistis dalam kehidupan keseharian umat.

Imam Ali kwh merupakan pribadi hasil didikan Rasul akhirul zaman, disamping pribadi-pribadi lain, yang telah berhasil Beliau saw didik pula. Fatimah az-Zahra, Imam Hasan al-Mutjtaba, Imam Husein as-Syahid adalah figur-figur yang pernah mengeyam pendidikan di akademi kenabian. Mereka adalah siswa-siswi alumni akademi kenabian. Posisi dan prestasi spiritual mereka saling berhimpitan dan sememikat satu dengan lainnya. Semua ilmu telah terhimpun di dada mereka, tak ada sedikitpun yang tercecer. “Kekasihku Rasulullah saw mengajariku seribu macam ilmu. Dan dari setiap ilmu itu terpancar seribu cabang ilmu,”demikian yang sering Beliau kwh sampaikan pada kita. Dan, kepada merekalah kita sampaikan shalawat disetiap sholat kita. Allahumma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad. Ya Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.

Pada orbit yang lain, Al-Quran sendiri mendokumentasikan dan mengibaratkan Nabi saw dan keluarganya sebagai pohon yang diberkati. Akarnya kuat, batangnya kokoh, daunnya rindang dan buahnya lezat melimpah. Akan tercium aroma kesucian bagi siapa saja yang berusaha mendekati pohon tersebut.

Namun seribu sayang. Wilayah persoalan ini, belum banyak disentuh oleh umat Islam. Mustika ajaran, dari mereka yang telah memperoleh didikan wahyu, belum juga diapresiasi, dijadikan kiblat kemudian diteladani oleh umat Islam sendiri. Keluarga Rasulullah saw masih dilihat dengan sebelah mata, bahkan sebagian besar umat Islam malah lebih senang memperhatikan orang-orang yang hanya sekedar “numpang belajar” di akademi kenabian. Lebih parah lagi, mereka yang hidupnya sekian ratus tahun dari akademi kenabian dan sama sekali tidak ditemukan adanya rantai penghubung yang jelas antara mereka dengan Para Siswa-Siswi alumni akademi kenabian seringkali justru dijadikan rujukan. Aneh, bukan? Padahal kita akan dibawa pada cahaya-cahaya kebenaran yang tak terelakkan bila ajaran-ajaran Nabi saw yang dibawa oleh keluarga Nabi saw, didalami dan dihayati untuk kemudian diamalkan. Buah-buah hikmah keimamahan keluarga Nabi saw beserta kebenaran ajarannya, yang jatuh tak jauh dari pohon kenabian, belum sepenuhnya digapai oleh umat Islam. Entah sampai kapan, kita tak tahu. Maka sebaiknya, renungkanlah.


Taufik Nur Rohman
[Pengurus Daerah Surakarta, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)]

Wednesday, April 18, 2007

"Kota Suci" di Indonesia



The holy city atau kota suci bagi umat Islam lazim disematkan kepada tiga kota di dunia yaitu Mekah al-Mukaromah, Madinah al-Munawaroh, dan Yerusalem al-Quds. Umat Islam –apapun madzhabnya- mengakui kesucian ketiga kota tersebut. Mengapa disebut kota suci? Biasanya jawaban yang lumrah untuk pertanyaan di atas adalah karena di Mekah ada Masjidil Haram, di Madinah ada Masjid Nabawi, dan di Yerusalem ada Masjid al-Aqsha. Jadi kesucian ketiga kota tersebut adalah karena adanya masjid-masjid itu. Kalau pertanyaannya kita lanjutkan, mengapa dengan adanya masjid-masjid itu kota-kota tersebut menjadi kota suci? Jawabannya adalah karena ketiga masjid tersebut terkait erat dengan perjuangan dan dakwah seorang manusia suci dalam menyebarkan agama yang suci ini. Manusia suci itu adalah Muhammad, Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam), dan agama suci itu adalah Islam. Tanpa diakitkan dengan Rasulullah, sang manusia suci itu, mustahil masjid-masjid itu dikenal sebagai masjid suci, dan mustahil pulalah ketiga kota itu menjadi kota-kota suci yang menjadi tempat tujuan ziarah kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia.

Bagi muslim Syi’ah, Rasulullah (saaw) bukan satu-satunya manusia suci, kendati tidak diragukan lagi bahwa Beliau adalah manusia bahkan makhluk tersuci. Masih ada 13 manusia suci lainnya yang kesuciannya mutlak sebagaimana kesucian Rasulullah. Mereka adalah Fatimah Azzahra binti Rasulullah dan 12 Imam penerus Rasulullah (shalawatullah 'alaihim wasallam). Perjuangan dan dakwah para manusia suci tersebut tidak terbatas pada kota-kota Mekah dan Madinah saja, tetapi juga Najaf, Karbala, Kazhimain, Samarra, dan bahkan Masyhad. Di kota-kota itu akan kita temukan jejak-jejak perjuangan mereka baik berupa masjid ataupun makam. Itulah sebabnya, kaum Syi’ah tidak hanya memiliki tiga kota suci, tetapi banyak kota suci.

Kaum Syi’ah sangat menghormati para manusia suci tersebut, sehingga orang-orang yang berkaitan erat dengan perjuangan mereka dan dikenal memiliki ketakwaan dan maqom spiritual yang tinggi, juga sering disebut orang suci. Sayyidah Zainab, Sayyidah Sukainah, Abu Fazhl al-Abbas dan para sahabat Imam Husain yang gugur di Karbala, adalah contohnya. Sayyidah Fatimah ma’shumah yang merupakan cucu Imam Ja’far Shadiq adalah contoh lain di mana kota suci Qum dikaitkan dengan makam beliau yang terletak di sana.

Adakah “kota suci” di Indonesia ? Ada, dan bahkan banyak, kalau kriteria “kota suci” kaum Syi’ah diterapkan di Indonesia oleh umat islam Indonesia seperti saya. Umat Islam Indonesia mengenal para waliyullah penyebar agama Islam di Nusantara sebagai orang-orang suci. Di antaranya adalah wali songo. Bila kota dimana terdapat makam para wali kita sebut sebagai kota suci, maka kita akan mempunyai banyak kota suci di Indonesia seperti kota suci Cirebon, dimana terdapat makam Syaikh (atau Sayyid ?) Syarif Hidayatullah, kota suci Serang di mana terdapat makam Syaikh Maulana Yusuf, kota suci Ampel, Gresik, Kudus, Bonang, dan Muria tempat disemayamkannya para waliyullah Sunan Ampel, Maulana malik Ibrahim, Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Muria, juga Banda Aceh dimana terdapat makam Sultan Malik al-Salih, raja sekaligus penyebar Islam di Samudra Pasai.

Bagi saya, orang suci tidak harus selalu ulama atau penyebar agama, seorang pejuang yang syahid di jalan Allah juga layak disebut orang suci dan kota di mana tanahnya dijadikan tempat peristirahatan terakhir para syahid itu juga layak disebut kota suci. Maka, bagi saya, hampir tidak ada kota di Indonesia yang tidak berhak dijuluki kota suci, karena Indonesia adalah negeri yang penuh dengan perjuangan yang setiap generasi selalu melahirkan para pejuang yang syahid di jalan Allah, selama berabad-abad, di setiap kota dan daerah, tercatat ataupun tidak oleh sejarah.

(Tulisan pendek ini saya dedikasikan untuk arwah suci Cut Nyak Dien, pahlawan Aceh yang dibuang Belanda ke kota Sumedang, Jawa Barat. Di Sumedang, beliau yang dijuluki masyarakat setempat sebagai “Nyi Prabu Sebrang” tidak lagi memanggul senjata tetapi mendarma-baktikan sisa hidupnya untuk mengajar al-Qur’an dan ajaran suci al-Islam bagi masyarakat Sumedang. Image: Makam Cut Nyak Dien, di Desa Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.)

Zaenal A. Muslim