Thursday, December 18, 2008

Sya'ir di Makam Sultan Malik al-Saleh

Seorang teman saya tidak pernah bermimpi mau ke Aceh sejak lahirnya.
Namun setelah peristiwa Tsunami Aceh, dia ingin sekali ke sana melihat bekas-bekas dahsyatnya peristiwa tsunami. Akan tetapi dia selalu diliputi ketakutan terjadi tsunami lagi. Akhirnya awal tahun ini, dia nekad pergi ke sana bersama seorang sepupunya. Tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain bekas-bekas bencana tsunami di pesisir utara Aceh, juga tak ia lewatkan makam Sultan Malik al-Saleh, Sultan Kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudra Pasai, yang terkenal itu.

Sesampainya di Makam Sultan Malik Al-Saleh, ia dapati di nisan makam tertulis sya'ir Imam Ali bin Abi Thalib a s dalam bahasa Arab yang artinya begini:

Dunia ini fana, tiada kekal, bagaikan sarang laba-laba;

O, kau yang menuntut terlalu banyak,

Memadailah yang kau peroleh selama ini.

Ada yang umurnya pendek,

Namun namanya dikenang selamanya;

Ada yang berusia panjang,

Namun dilupa orang sesudah matinya.

Dunia ini bayang-bayang yang cepat berlalu

Seorang tamu dimalam hari,

Mimpi orang yang tidurnya nyenyak

Dan sekilat cahaya yang bersinar di cakrawala harapan.

Guru, digugu hanya ketika diperlukan

Syarifah Aliah, teman lamaku yang hampir 20 tahun tidak pernah berjumpa. Dia adalah cucu Habib Usman Alaydarus (alm), ulama sekaligus pendiri Yayasan Assalam Bandung. Tulisannya tentang "guru" begitu menggugah, seolah mewakili jeritan hati para guru yang nasibnya tidak sebaik jasanya, juga menyadarkan orang-orang -seperti aku- yang selama ini tidak mampu (atau tidak mau) membalas kebaikan para guru.

Syarifah, aku minta ijin tulisanmu kupampang diblog sederhana ini.

Guru, "Digugu" hanya Ketika Diperlukan
PIKIRAN RAKYAT, Kamis 18 Desember 2008

Oleh SYARIFAH ALIAH

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Engkau patriot pahlawan bangsa.
Tanpa tanda jasa…
(Himne Guru karya Sartono)

KETIKA dua bom atom dijatuhkan di dua kota besar di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantaklah kedua kota yang dibanggakan negeri matahari itu. Kedua benda mematikan itu sengaja dikirim pasukan tentara Amerika dibawa pesawat berjenis B-29 yang berangkat dari pangkalan militer bernama Pearl Harbor di pulau O`ahu - Hawaii, sebuah balasan atas serangan Jepang terhadap pangkalan angkatan laut AS itu pada 8 Desember 1941.(http://id.wikipedia.org/wiki/Pearl_Harbor)

Sekian puluh detik berikutnya, ribuan mayat yang bergelimpangan, bau amis darah dan daging hangus menyengat hidung, begitu pun semua bangunan rata dengan tanah disertai abu tak henti beterbangan. Api berkobar di mana-mana, membakar segala apa yang terimbas dari bom atom yang berkekuatan mahadahsyat itu.

Seketika itu sang kaisar, Hirohito, tertegun sejenak meratapi nasib kedua kota yang sangat diandalkannya. Namun, dia cepat beranjak dari lamunan dan segera memerintahkan kepada perdana menterinya untuk segera menghitung, Berapa orang guru yang tersisa dan masih hidup! (www.kebangkitan-indonesia.blogspot.com)

Sang kaisar ternyata berpandangan lain dan jauh ke depan. Dalam pikiran sang kaisar, sosok guru lebih berharga dibandingkan dengan aset negara yang lain sekalipun. Guru menjadi tulang punggung keberhasilan sebuah bangsa. Hirohito memang cermat dalam memahami hal tentang pentingnya guru. Lihatlah Jepang sekarang.

Reposisi atau penataan kembali peran guru di Indonesia dalam dunia pendidikan perlu dilakukan. Ini terutama mengingat guru yang sebetulnya sangat berperan penting dan ikut menentukan kualitas pendidikan, namun pada kenyataannya selalu berada di pinggiran atau termarginalkan.

Hal itu terungkap dalam diskusi panel bertajuk "Reposisi Guru Dalam Tatanan Pendidikan Nasional Sebagai Infrastruktur Pengembangan Sumber Daya Manusia" di Gedung Guru, Jakarta, Kamis (Kompas, 29 Maret 2007).

Pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengatakan, kondisi guru yang
termarginalkan sekarang ini merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan nasional yang memang merendahkan guru. Contoh kasus ujian akhir secara nasional yang amat menentukan kelulusan murid. Ini jelas-jelas tidak memercayai guru sebagai pihak yang mengevaluasi.

Contoh lainnya, ketika pemerintah mau meningkatkan kualitas pendidikan, yang dilakukan ialah perubahan kurikulum. Kurikulum itu kemudian dijadikan buku pintar untuk guru. Para guru diberi pelatihan agar dapat mengikuti kurikulum. Namun, hasilnya justru guru tidak menjadi lebih pintar dari kurikulum, by design guru malah menjadi bodoh.

Mungkin sudah menjadi suratan takdir jika sosok guru sering diidentikkan dengan kemiskinan dan sebuah profesi pilihan terakhir. Pengebirian nasibnya malah tergambarkan dalam sebuah syair lagu fenomenal yang dilantunkan Iwan Fals yang berjudul "Umar Bakrie".

Di saat sang murid sudah berwara-wiri memakai mobil 2 pintu, guru masih cukup berkutat dengan kendaraan 2 roda saja. Ketika sang murid sudah memiliki alat hiburan Playstation 3, gurunya baru dapat berekreasi mengajak anaknya bermain (play) ke stasiun (station) kereta api saja.

Namun saat guru menyalak sedikit, sang murid yang merasa tidak nyaman buru-buru mengadu kepada sang ibu (orang tuanya) yang diteruskan dengan pengaduan kepada kepala sekolah atau aparat hukum. Saat guru lelah rohani, guru diburu karena akhlaknya tidak lagi layak ditiru. Guru selalu menjadi sorotan walaupun masyarakat tidak tahu apa yang dia pikirkan.

Sepertinya guru hanya "digugu" saat muridnya butuh nilai saja. Perintah guru akan ditaati kala beliau menjadi pengajarnya saja. Lihatlah guru saat tidak berwenang memberi nilai terhadap muridnya, dipastikan murid tak menghiraukannya.

Selamat Hari Guru!

Penulis, guru TK Assalaam Bandung.

Wednesday, February 13, 2008

Benturan Peradaban itu antara Barat dengan Iran

NUKLIR IRAN DAN BENTURAN PERADABAN


MAJALAH Foreign Affairs musim panas 1993 menerbitkan artikel yang kontroversial. Artikel yang ditulis oleh Samuel P. Huntington berjudul The Clash of Civilization? , dan akhirnya disempurnakan oleh penulisnya menjadi sebuah buku itu mengajukan tesis bahwa Islam akan menjadi seteru Barat di masa depan, pascaruntuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, dengan hancurnya negara Uni Soviet.

Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan Islam oleh guru besar ilmu politik dari Universitas Harvard itu? Sangat mungkin jawabannya adalah Iran. Mengingat betapa luasnya wilayah Islam, dan betapa lemahnya posisi tawar umat Islam di kancah internasional hari ini.

Adalah tidak logis untuk mengatakan bahwa semua negara Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah ancaman bagi Barat.

Namun apabila Islam dispesifikasikan hanya menjadi Iran, maka akan menjadi lain ceritanya. Republik Islam Iran memanglah memiliki kekuatan yang perlu diperhitungkan untuk menerima "tantangan " Barat, baik dengan kekuatan fisik dan militer, ataupun terlebih lagi dengan kekuatan akal (rasio) dan produk pemikiran.

Dalam bidang filsafat dan pemikiran, negeri para mullah itu telah banyak memberikan tandingan wacana atas pemikiran para filosof Barat.

Sebut saja Ayatullah Murthadha Muthahhari dengan Masyarakat dan Sejarahnya. Dr. 'Ali Syari'ati dengan Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya. Juga karya monumental Mehdi Ha'iri Yazdi lewat Knowledge by Presence . Untuk yang disebut belakangan ini karyanya bahkan mendapatkan pujian dari William Chittick.

NUKLIR IRAN

Bagaimana dengan kekuatan fisik dan militer Iran? Inilah yang akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari masyarakat internasional, berkaitan dengan kegiatan program pengembangan teknologi nuklir.

Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad telah menyatakan keberhasilan negeri Saman Al-Farisi itu dalam proses pengayaan uranium. Sampai pada tingkat telah memenuhi kebutuhan untuk keperluan pembangkit tenaga listrik sebesar 3,5%. Hal itulah yang membuat berang Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan George W. Bush. Washington bersikeras menuduh bahwa Iran akan mengembangkan teknologi nuklirnya sampai pada kemampuan memproduksi senjata nuklir. Sebaliknya Teheran bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan perdamaian. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan industri dan listrik dalam negeri .

Presiden George W. Bush saat memberi sambutan di Universitas John Hopkins, New York, menegaskan bahwa dia (AS) tidak menginginkan Iran memiliki senjata nuklir, kapasitas membuat senjata nuklir, ataupun ilmu pengetahuan cara membuat senjata nuklir. Selain itu negeri Persia tersebut menurut Bush masuk dalam kategori Poros Setan (the evil axis) bersama dengan Kuba dan Korea Utara .

Bila melihat historis hal ini tentunya dapatlah dimengerti. Di awal berdirinya, Republik Islam Iran telah mampu mempecundangi negara super power itu di mata dunia internasional. Lewat insiden pendudukan Kedutaan Besar AS di Teheran, yang terkenal dengan sebutan krisis sandera, dengan penyanderaan 52 staf diplomatiknya selama 444 hari (November 1979-Januari 1981) sebagai respon masyarakat Iran terhadap perlindungan AS atas Syah Reza Pahlevi, presiden Iran yang digulingkan rakyat lewat Revolusi Islam pimpinan Ayatullah Ruhullah Al- Musawi Al- Khomeini (Imam Khomeini).

Setelah itu didirikan Republik Islam Iran menggantikan monarkhi yang telah berusia 2.500 tahun. Imam Khomeini menyebut AS sabagai Setan Akbar. Ditambah dengan janji Sang Imam, untuk mengekspor revolusi Islam tersebut ke seluruh penjuru dunia. Semua itu tentu saja dibenci oleh AS, karena sangat bertentangan kepentingan politik dan ekonomi internasional AS.

Menghadapi Iran yang telah berubah menjadi sebuah Republik Islam, AS segera memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran, dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter (April 1980). Bersamaan itu diperlakukan pula embargo ekonomi sebagai balasan. Hal itu telah menciptakan kesulitan hidup bagi kebanyakan rakyat Republik Islam yang baru saja berdiri. Insiden ini pulalah yang mendorong Presiden Irak (saat itu) Saddam Hussein menginvasi Iran, yang berbuntut pada perang yang menghancurkan kedua negara bertetangga itu selama delapan tahun (1980-1988).

Kebijakan ekonomi dan politik yang diambil AS ternyata tidak mampu membendung laju perkembangan Republik Islam Iran. Republik baru itu mampu bertahan di bawah kondisi embargo ekonomi. Bahkan tidak saja bertahan, tetapi justru mampu semakin berkembang dengan pesat. Yang bisa dibilang puncaknya adalah pada pengembangan program teknologi nuklir saat ini.

Perkembangan ini pun sebenarnya sudah terdeteksi oleh AS, sehingga tatkala Ahmadinejad, mantan wali kota yang sederhana, dan juga dikenal berhaluan radikal terhadap AS serta pengikut setia cita-cita Revolusi Islam yang dicetuskan oleh Imam Khomeini terpilih sebagai presiden menggantikan Sayyid Khatami, AS sudah kebakaran jenggot.

Berbagai propaganda negatif dilakukan untuk menjatuhkan reputasi baik Ahmadinejad. Namun semua sia-sia. Ahmadinejad tetap dicintai rakyatnya.

Kini ternyata kebijakan pemerintahan Presiden Ahmadinejad benar-benar merepotkan Sang Polisi Dunia, terutama kebijakan yang berkaitan dengan program pengembangan teknologi nuklir.

AS tentu sudah menghitung betapa Republik Islam Iran. Di masa awal berdirinya saja sudah mampu membuat malu AS lewat krisis sandera. Lalu seandainya negeri mullah itu benar-benar mampu membuat senjata nuklir, tentu akan sangat mungkin lagi untuk semakin mempermalukan AS di kancah politik internasional. Apalagi Presiden Ahmadinejad, yang dikenal sederhana itu, tegas-tegas menolak intervensi AS yang meminta negaranya menghentikan aktivitas pengayaan uranium dan pengembangan teknologi nuklir yang bertujuan damai.

SERANGAN MILITER

Benarkah Islam (Iran) adalah ancaman serius bagi AS? Banyak kalangan yang sebenarnya masih meragukan kapasitas kemampuan Iran untuk menciptakan senjata nuklir. Bahkan Teheran sudah berulang kali menandaskan bahwa program teknologi nuklirnya hanya untuk tujuan damai, tidak ada maksud untuk membuat senjata nuklir. Tetapi Washington rupanya benar-benar telah terjangkiti paranoid yang luar biasa.

AS telah berupaya mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi bagi Iran, namun ditentang oleh Rusia dan China. Hal ini secara telanjang menunjukkan pada dunia betapa besarnya arogansi AS. Bahkan apabila langkah lebih lanjut AS untuk melangsungkan serangan militer ke Iran benar-benar dilakukannya, tentulah menjadi bertambah gamblang sikap kejumawaan AS terhadap negara lain.

Belum terhapus dari benak masyarakat internasional bagaimana AS menghancurkan Afghanistan, dan Irak. Kini, AS telah merencanakan untuk menghancurkan Iran. Menariknya semuanya termasuk dalam kategori negara-negara Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Akankah futuristik dari Samuel P. Huntington yang juga menduduki jabatan Ketua Harvard Academy untuk kajian Internasional dan Regional di Weaterhead Center For International Affairs, itu akan menemukan bentuknya yang nyata; ataukah sebenarnya tesis dari Huntington itulah yang menjadi landasan bagi arah kebijakan politik luar negeri AS selama ini.

Sebuah kebijakan yang dihinggapi perasaan paranoid akan kekuatan di luar AS. Terlepas dari itu semua, Huntington memanglah dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki reputasi cemerlang di AS. Kegiatan risetnya di banyak negara dibiayai oleh pemeritah AS.

Namun sayangnya pandangan tesis Huntington kini telah terbukti mengancam nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme) yang menjunjung semangat egalitarian, kasih sayang dan perdamaian dunia.

Tesis Huntington adalah pandangan yang pesimistis dalam memandang terciptanya kesederajatan negara yang dialogis dan saling menghargai, antara Islam dan Barat. (11)

(Surachman Nugroho)

Monday, February 11, 2008

Oleh-oleh dari Iran

”PR" sempat terkejut ketika Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, M.S., tiba-tiba mengajak masuk ke dalam mobil. Pasalnya, baru pertama kali Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung itu berwajah serius.

"Ada apa, Pak Rektor?" tanya "PR".

"Saya baru saja tiba dari Iran. Yuk, ikut ke dalam mobil. Ada cerita banyak dan menarik soal Iran. Tapi, sekarang saya mau menghadiri acara pelepasan lulusan Program Mengajar Akta IV Fakultas Tarbiyah dan Keguruan," ujarnya.

"PR" pun ikut masuk ke dalam ruangan Aula Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD. Benar saja, begitu diberi kesempatan menyampaikan pidato sambutan, Nanat Fatah langsung mengawali ceritanya berjalan-jalan ke negeri para mullah Iran.

"Saya kaget ketika tahu ternyata sangat jarang orang Syiah di Iran yang melakukan kawin kontrak. Di sana, perbuatan kawin kontrak itu merupakan sesuatu yang memalukan. Ya, semacam aib bilamana ada yang kawin kontrak. Di Islam itu kan lebih dikenal poligami daripada kawin kontrak," tutur Nanat.

Diceritakannya, semula ia menduga kasus kawin kontrak hanya terjadi di Iran. Kalaupun dilakukan di luar Iran, orang yang bersangkutan adalah penganut paham Syiah. Akan tetapi, di Iran sendiri ternyata jarang dijumpai kasus kawin kontrak atau mut'ah.
Selain itu, Nanat juga terperanjat kaget ketika mengetahui heroismenya rakyat Iran. Pasalnya, heroisme itu dikaitkan dengan gairah belajar atau menuntut ilmu. "Di sana, anak-anak sekolah itu justru nangis ketika datang masa liburan. Di Indonesia, kan terbalik. Mendekati masa liburan saja, sudah gembira. Di Iran, libur sekolah berarti kehilangan kesempatan belajar," ungkap Nanat.

Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Barat ini berpandangan, mayoritas rakyat Iran rajin belajar karena ingin mengembalikan kejayaan peradaban Persia yang hilang. Mereka pun menyatakan adanya "musuh bersama" yang harus dihadapi secara cerdas.

Sambil membeberkan data dengan penuh semangat, Nanat yang bicara di podium --di depan peserta wisuda program Akta Mengajar IV Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD-- itu juga mengungkapkan tentang adanya nuklir yang sudah disiapkan menuju sasaran sejumlah tempat di luar Iran.

"Kaum mullah yang berbusana khas Persia itu ternyata banyak bergelar profesor dan mereka cerdas-cerdas. Jika ditanya soal AS, mereka jawab kelak Iran akan menjadi negara adidaya dan bisa mengembalikan kejayaan masa silam negeri Persia," tutur Nanat. (Achmad Setiyaji/"PR")***

Teologi Bencana

Konsep disaster risk management meyakini bencana terjadi akibat pertemuan ancaman dengan kerentanan masyarakat setempat minus kapasitas yang tersedia. Bagaimana pula keyakinan teologis masyarakat Aceh tentang langkah, raseuki, peutemun mawoet bak Allah Taala yang meyakini bencana merupakan kehendak Tuhan untuk peringatan, cobaan dan azab bagi manusia?

Adagium langkah, rizki, pertemuan, dan perpisahan/maut di tangan Allah dibangun dari konsep teologi anutan sebagian besar masyarakat Aceh. Perda Istimewa Aceh no.11/2002 tentang aqidah, ibadah, dan syiar Islam menjelaskan Ahlussunnah wal Jamaah lah pilihan aqidah masyarakat Aceh. Dalam studi teologi Islam, aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki dua konsep teologi dan mayoritasnya menganut Asy-‘Ariyah.

Sebagai teologi yang tidak meyakini adanya free will dalam prilaku manusia, asy-ariyah sering menjadi alat justifikasi para penguasa atas kebijakan-kebijakan yang dibuat dan berdampak buruk pada kehidupan masyarakat muslim. Dalam konteks bencana Aceh, pemerintah berkepentingan dengan opini yang menghubungkan tsunami Desember 2004lalu sebagai cobaan dan azab Tuhan.

Asy-ariyah lebih meyakini 165.708 orang meninggal akibat tsunami di Aceh dan 69 orang meninggal dan 305 orang hilang akibat banjir bandang di Aceh akhir tahun 2006 (Satkorlak NAD: 2006) merupakan keputusan Tuhan.

Teologi Asy-ariyah tidak cukup mampu menghubungkan bencana tsunami dengan model tataruang Aceh yang tidak sensitif tsunami. Pemerintah Aceh berkepentingan dengan meluasnya pemahaman masyarakat bahwa angka 165 ribu lebih korban jiwa akibat tsunami di Aceh merupakan fenomena yang alami seperti alaminya gempa dan tsunami itu sendiri. Di pihak lain, pengetahuan manajemen bencana mengakui kealamiahan gempa dan tsunami, tetapi besaran korban jiwa dan harta sangat politis. Mengingat kebijakan tataruang adalah produk politik.

Pemerintah Aceh seharusnya tidak cukup nyaman memanfaatkan keyakinan fatalistik masyarakat untuk menjustifikasi kelemahan kebijakan politiknya terkait tataruang dan pendidikan masyarakat Aceh yang tidak peduli isu bencana. Beberapa minggu pertama setelah tsunami 2004 di Aceh, para khatib Jumat membahas bencana gempa dan tsunami di mimbar-mimbar mereka. Sekali lagi Asy-ariyah menjadi pilihan perspektif, maka para khatib berulangkali menasihati masyarakat untuk menghentikan maksiat berhubung bencana merupakan azab Tuhan atas prilaku kemaksiatan masyarakat Aceh selama ini. Perspektif ini kemudian berimplikasi luas pada kehidupan sosial, dan ikut menjadi alasan pembenaran prilaku masyarakat yang menghakimi pelaku khalwat dan maksiat lainnya dengan dalih setiap maksiat akan mengundang tsunami berulang kembali.

Fenomena ini sangat kontras dibandingkan dengan ceramah pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei (yang tidak menganut Asy-Ariyah) ketika mengunjungi masyarakat korban gempa di kota Bam setahun sebelum tsunami Aceh. Di depan masyarakat korban, Ali Khamenei menekankan bahwa “tugas terpenting para pejabat ialah penanganan berbagai kekurangan yang masih ada. Pada tahap berikutnya yang merupakan tahap pembangunan kembali kota Bam, maka dari tengah puing-puing ini, harus dibangun sebuah kota yang kuat, kokoh dan membanggakan” (sumber: indonesia.irib.ir).

Sebagai ulama Islam, Khamenei melihat keterkaitan langsung gempa sebagai fenomena alami dengan kebijakan membangun kota yang kuat dan aman dari gempa.

Hubungan dengan Tuhan

Perbedaan kesimpulan terkait hubungan Tuhan dengan bencana di kalangan masyarakat Islam, menarik dikaji. Terutama dalam konteks upaya penanggulangan bencana di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan yang didiami oleh sebagian besar masyarakat bergama Islam. Terlebih lagi Indonesia telah memiliki UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Pemerintah juga sudah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN)

Pengurangan Resiko Bencana.

Pertanyaan yang timbul, sejauhmana kebijakan politik ini efektif dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia dan Aceh ketika dihadapkan dengan paradigma teologi fatalistik masyarakat yang menemukan bencana sepenuhnya berhubungan dengan kehendak Tuhan, kekuatan supranatural? Pertanyaan ini relevan, mengingat perkembangan paradigma manajemen bencana mutakhir meyakini kekuatan masyarakat menjadi faktor sangat menentukan dalam upaya-upaya pengurangan resiko bencana yang dilakukan oleh pihak manapun.

Pertanyaan lebih mendasar lagi, bagaimana sebenarnya umat Islam memahami hubungan Tuhan dengan berbagai kejadian bencana? Apakah itu bencana geologis-klimatologis (seperti banjir, gempa, dan tsunami), bencana sosial-politik (seperti konflik dan perang), dan bencana kegagalan teknologi (seperti jatuhnya pesawat terbang, tenggelamnya tranportasi laut, kecelakaan kereta api dan lapindo).

Sebagian ahli teologi Islam, seperti Allamah Hilli dan Abdul Jabbar membicarakan hubungan Tuhan dengan berbagai kejadian alam (termasuk bencana) dalam “bab keadilan ilahi”. Dalam diskusi bencana, setidanya terdapat dua pertanyaan relevan yang diajukan teolog ketika membahas konsep keadilan ilahi; Pertama, mungkinkah Tuhan melakukan keburukan? Kedua, apakah manusia memiliki kebebasan memilih kegiatannya, tindakannya, dan kebijakannya?

Meski para teolog memiliki jawaban yang berbeda atas dua pertanyaan tersebut, namum mereka bersepakat dengan satu proposisi logis; orang yang adil tidak mungkin melakukan sesuatu yang buruk dan mengabaikan sesuatu yang menjadi tugasnya. Lalu apakah bencana suatu keburukan? Siapa yang berhak menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk? Para teolog kembali berbeda pandangan untuk pertanyaan ini.

Penganut Asy-Ariyah mengatakan hanya Tuhan dengan syariat-Nya yang bisa menentukan baik atau buruknya sesuatu. Aliran kalam mu‘tazilah dan imamiah bersepakat akal manusia mampu mencapai pengetahuan yang valid tentang baik atau buruknya sesuatu tampa syariat sekali pun.

Mengikut logika teologi Imamiah dan Mu‘atazilah, kita meyakini manusia dengan akalnya dapat mengetahui bencana sesuatu yang buruk bagi kehidupan mereka. Sampai di sini kita hanya perlu meluruskan pemahaman terminologi bencana-yang menurut pengetahun manajemen bencana- harus dibedakan dengan term ancaman (hazard).

Sesuatu yang buruk bagi kehidupan manusia adalah bencana, dan bukan ancaman. Ancaman seperti banjir, gempa, tsunami, badai adalah gejala alam yang niscaya terjadi, karenanya bukan sesuatu yang buruk. Sedangkan bencana- seperti 165.708 korban jiwa, 53 triluan kerugian harta, puluhan ribu rumah hancur- akibat tsunami bukanlah sesuatu yang baik bagi masyarakat manusia di Aceh. Dan besaran angka-angka bencana tersebut tidak mesti terjadi. Dengan kata lain, masih bisa dikurangi sekecil mungkin dengan sejumlah tindakan yang tepat (baca- reduksi resiko bencana). Bukankah manusia Aceh (pemerintah dan aktor pembangunan yang lain) memiliki kebebasan dalam memilih tindakan dan kebijakan ?

Persoalan terbesar adalah para teolog Asy-ariyah menyimpulkan semua tindakan manusia berasal dari Tuhan, dan manusia tidak bebas memilihnya. Maka besaran angka bencana akibat banjir, badai, dan ancaman-ancaman lain di Aceh merupakan keputusan Tuhan dalam Takdir-Nya. Manusia harus melihat bencana sebagai kebaikan karena keputusan Tuhan semuanya kebaikan. Pandangan ini telah memposisikan Tuhan dalam kondisi antagonis berhadapan dengan kepentingan manusia yang dengan akal sehatnya mengetahui pembangunan kehidupan, kebudayaan, dan peradaban tidak membutuhkan bencana.

Dengan demikian, UU no.24 tahun 2007 dan RAN pengurangan resiko bencana yang sudah menjadi kebijakan pemerintah Indonesia hanya mungkin dijalankan dengan perspektif teologi yang mengakui adanya free will bagi masyarakat manusia. Di antaranya teologi Imamiah dan rasionalisme Mu‘atazilah.

Determinisame 100 persen yang dianut Asy-ariyah dan teologi mayoritas masyarakat Aceh selama ini berimplikasi negatif pada pembangunan Aceh ke depan. Di antara implikasi politiknya adalah pemerintah Aceh akan menjadikan teologi ini untuk menjustifikasikan kebijakan-kebijakan pembangunan Aceh (RPJMA) yang tidak mengarus utamakan manjemen resiko bencana di dalamnya sebagai takdir Tuhan.

Dan DPRA pun merasa benar, meski mengabaikan pentingnya Qanun Penaggulangan Bencana untuk Aceh. Sejauh ini, terdapat 59 draft qanun prioritas yang akan dibahas DPRA sampai tahun 2009 dan qanun pengurangan resiko bencana tidak termasuk di dalamnya.

Tidak ada satu logika pun yang dapat membenarkan ketika semua tahu Aceh adalah wilayah rentan bencana, tetapi pemerintahnya tidak membuat regulasi yang strategis untuk penanggulangan bencana. Sejauh ini, pola penanganan bencana Aceh masih sebatas emergency respon. Kecuali itu, pembangunan instalasi tsunami early warning system (TEWS) yang sepenuhnya mengandalkan pendekatan tunggal keteknikan (engineering), terbukti menimbulkan kepanikan warga ketika suara sirine peringatan tsunami berbunyi pada awal juni 2007 lalu. Kepanikan warga desa kaju dan sekitarnya akibat sirine TEWS menyebabkan banyaknya kecelakaan transportasi yang justru menambah daftar bencana.


(Affan Ramli, Serambi Online)