Wednesday, February 13, 2008

Benturan Peradaban itu antara Barat dengan Iran

NUKLIR IRAN DAN BENTURAN PERADABAN


MAJALAH Foreign Affairs musim panas 1993 menerbitkan artikel yang kontroversial. Artikel yang ditulis oleh Samuel P. Huntington berjudul The Clash of Civilization? , dan akhirnya disempurnakan oleh penulisnya menjadi sebuah buku itu mengajukan tesis bahwa Islam akan menjadi seteru Barat di masa depan, pascaruntuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, dengan hancurnya negara Uni Soviet.

Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan Islam oleh guru besar ilmu politik dari Universitas Harvard itu? Sangat mungkin jawabannya adalah Iran. Mengingat betapa luasnya wilayah Islam, dan betapa lemahnya posisi tawar umat Islam di kancah internasional hari ini.

Adalah tidak logis untuk mengatakan bahwa semua negara Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah ancaman bagi Barat.

Namun apabila Islam dispesifikasikan hanya menjadi Iran, maka akan menjadi lain ceritanya. Republik Islam Iran memanglah memiliki kekuatan yang perlu diperhitungkan untuk menerima "tantangan " Barat, baik dengan kekuatan fisik dan militer, ataupun terlebih lagi dengan kekuatan akal (rasio) dan produk pemikiran.

Dalam bidang filsafat dan pemikiran, negeri para mullah itu telah banyak memberikan tandingan wacana atas pemikiran para filosof Barat.

Sebut saja Ayatullah Murthadha Muthahhari dengan Masyarakat dan Sejarahnya. Dr. 'Ali Syari'ati dengan Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya. Juga karya monumental Mehdi Ha'iri Yazdi lewat Knowledge by Presence . Untuk yang disebut belakangan ini karyanya bahkan mendapatkan pujian dari William Chittick.

NUKLIR IRAN

Bagaimana dengan kekuatan fisik dan militer Iran? Inilah yang akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari masyarakat internasional, berkaitan dengan kegiatan program pengembangan teknologi nuklir.

Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad telah menyatakan keberhasilan negeri Saman Al-Farisi itu dalam proses pengayaan uranium. Sampai pada tingkat telah memenuhi kebutuhan untuk keperluan pembangkit tenaga listrik sebesar 3,5%. Hal itulah yang membuat berang Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan George W. Bush. Washington bersikeras menuduh bahwa Iran akan mengembangkan teknologi nuklirnya sampai pada kemampuan memproduksi senjata nuklir. Sebaliknya Teheran bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan perdamaian. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan industri dan listrik dalam negeri .

Presiden George W. Bush saat memberi sambutan di Universitas John Hopkins, New York, menegaskan bahwa dia (AS) tidak menginginkan Iran memiliki senjata nuklir, kapasitas membuat senjata nuklir, ataupun ilmu pengetahuan cara membuat senjata nuklir. Selain itu negeri Persia tersebut menurut Bush masuk dalam kategori Poros Setan (the evil axis) bersama dengan Kuba dan Korea Utara .

Bila melihat historis hal ini tentunya dapatlah dimengerti. Di awal berdirinya, Republik Islam Iran telah mampu mempecundangi negara super power itu di mata dunia internasional. Lewat insiden pendudukan Kedutaan Besar AS di Teheran, yang terkenal dengan sebutan krisis sandera, dengan penyanderaan 52 staf diplomatiknya selama 444 hari (November 1979-Januari 1981) sebagai respon masyarakat Iran terhadap perlindungan AS atas Syah Reza Pahlevi, presiden Iran yang digulingkan rakyat lewat Revolusi Islam pimpinan Ayatullah Ruhullah Al- Musawi Al- Khomeini (Imam Khomeini).

Setelah itu didirikan Republik Islam Iran menggantikan monarkhi yang telah berusia 2.500 tahun. Imam Khomeini menyebut AS sabagai Setan Akbar. Ditambah dengan janji Sang Imam, untuk mengekspor revolusi Islam tersebut ke seluruh penjuru dunia. Semua itu tentu saja dibenci oleh AS, karena sangat bertentangan kepentingan politik dan ekonomi internasional AS.

Menghadapi Iran yang telah berubah menjadi sebuah Republik Islam, AS segera memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran, dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter (April 1980). Bersamaan itu diperlakukan pula embargo ekonomi sebagai balasan. Hal itu telah menciptakan kesulitan hidup bagi kebanyakan rakyat Republik Islam yang baru saja berdiri. Insiden ini pulalah yang mendorong Presiden Irak (saat itu) Saddam Hussein menginvasi Iran, yang berbuntut pada perang yang menghancurkan kedua negara bertetangga itu selama delapan tahun (1980-1988).

Kebijakan ekonomi dan politik yang diambil AS ternyata tidak mampu membendung laju perkembangan Republik Islam Iran. Republik baru itu mampu bertahan di bawah kondisi embargo ekonomi. Bahkan tidak saja bertahan, tetapi justru mampu semakin berkembang dengan pesat. Yang bisa dibilang puncaknya adalah pada pengembangan program teknologi nuklir saat ini.

Perkembangan ini pun sebenarnya sudah terdeteksi oleh AS, sehingga tatkala Ahmadinejad, mantan wali kota yang sederhana, dan juga dikenal berhaluan radikal terhadap AS serta pengikut setia cita-cita Revolusi Islam yang dicetuskan oleh Imam Khomeini terpilih sebagai presiden menggantikan Sayyid Khatami, AS sudah kebakaran jenggot.

Berbagai propaganda negatif dilakukan untuk menjatuhkan reputasi baik Ahmadinejad. Namun semua sia-sia. Ahmadinejad tetap dicintai rakyatnya.

Kini ternyata kebijakan pemerintahan Presiden Ahmadinejad benar-benar merepotkan Sang Polisi Dunia, terutama kebijakan yang berkaitan dengan program pengembangan teknologi nuklir.

AS tentu sudah menghitung betapa Republik Islam Iran. Di masa awal berdirinya saja sudah mampu membuat malu AS lewat krisis sandera. Lalu seandainya negeri mullah itu benar-benar mampu membuat senjata nuklir, tentu akan sangat mungkin lagi untuk semakin mempermalukan AS di kancah politik internasional. Apalagi Presiden Ahmadinejad, yang dikenal sederhana itu, tegas-tegas menolak intervensi AS yang meminta negaranya menghentikan aktivitas pengayaan uranium dan pengembangan teknologi nuklir yang bertujuan damai.

SERANGAN MILITER

Benarkah Islam (Iran) adalah ancaman serius bagi AS? Banyak kalangan yang sebenarnya masih meragukan kapasitas kemampuan Iran untuk menciptakan senjata nuklir. Bahkan Teheran sudah berulang kali menandaskan bahwa program teknologi nuklirnya hanya untuk tujuan damai, tidak ada maksud untuk membuat senjata nuklir. Tetapi Washington rupanya benar-benar telah terjangkiti paranoid yang luar biasa.

AS telah berupaya mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi bagi Iran, namun ditentang oleh Rusia dan China. Hal ini secara telanjang menunjukkan pada dunia betapa besarnya arogansi AS. Bahkan apabila langkah lebih lanjut AS untuk melangsungkan serangan militer ke Iran benar-benar dilakukannya, tentulah menjadi bertambah gamblang sikap kejumawaan AS terhadap negara lain.

Belum terhapus dari benak masyarakat internasional bagaimana AS menghancurkan Afghanistan, dan Irak. Kini, AS telah merencanakan untuk menghancurkan Iran. Menariknya semuanya termasuk dalam kategori negara-negara Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Akankah futuristik dari Samuel P. Huntington yang juga menduduki jabatan Ketua Harvard Academy untuk kajian Internasional dan Regional di Weaterhead Center For International Affairs, itu akan menemukan bentuknya yang nyata; ataukah sebenarnya tesis dari Huntington itulah yang menjadi landasan bagi arah kebijakan politik luar negeri AS selama ini.

Sebuah kebijakan yang dihinggapi perasaan paranoid akan kekuatan di luar AS. Terlepas dari itu semua, Huntington memanglah dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki reputasi cemerlang di AS. Kegiatan risetnya di banyak negara dibiayai oleh pemeritah AS.

Namun sayangnya pandangan tesis Huntington kini telah terbukti mengancam nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme) yang menjunjung semangat egalitarian, kasih sayang dan perdamaian dunia.

Tesis Huntington adalah pandangan yang pesimistis dalam memandang terciptanya kesederajatan negara yang dialogis dan saling menghargai, antara Islam dan Barat. (11)

(Surachman Nugroho)

No comments: